Ani terdiam di
kamarnya hingga hening. Detak jam dinding pun seakan tak berani bersuara. Dia
bingung, haruskah melaksanakan hal itu atau tidak. Masih jelas terngiang dalam
pikirannya sugesti dari sang dokter yang ditemuinya pagi tadi.
"Waktumu
sampai lusa, tidak lebih..."
Begitulah,
hingga kata-kata itu seakan bergema di gendang telinganya. Akhirnya setelah
cukup lama bergumul dengan waktu, Ani meraih Handphone yang tergeletak tak
bergerak di atas meja belajarnya.
"Aku mau ketemu sekarang, Kamu tolong
datang ke rumah ya..."
Segera
dia kirim pesan singkat itu ke nomor Faiz, pria yang selama ini mengisi
hari-harinya. Faiz, sosok pria yang selalu bisa membuatnya tersenyum sesedih
dan segalau apapun hatinya. Dan sekarang dia ingin meminta sesuatu yang mungkin
tidak biasa pada pria itu.
"Aku tahu
kamu pasti datang..."
Suaranya
berat, seakan dipaksakan saat memulai pembicaraan tatkala Faiz baru memarkir
motornya di depan pagar rumah. Faiz diam sejenak, mengatur nafas setelah duduk
di atas kursi.
"Terus
terang aku bingung. Kamu minta aku datang, setelah aku sampai di depan rumah
mu, Kamu meragukan kedatanganku."
"Aku
tak punya waktu untuk berdebat dengan Kamu, Faiz. Aku cuma mau kamu penuhi 1
permintaan dariku."
Belum
hilang rasa herannya akan pernyataan Ani kepadanya ketika baru sampai di rumah
Ani, ada lagi pernyataan lain yang menambah keheranannya.
"Maksud
Kamu apa, Ani...?"
Ani
bungkam. Dia menutup bibirnya rapat-rapat. Ani tahu betul bagaimana perasaan
Faiz kepadanya. Mereka sudah menjalin hubungan cukup lama, sejak mereka kelas 2
SMA hingga mereka semester IV di bangku kuliah kini. Dan sejauh yang bisa dia
ingat, tak pernah sekalipun Faiz mengatakan tidak untuk setiap permintaannya.
Akhirnya dengan mengumpulkan seluruh keberanian yang dia punya, mulutnya yang
rapat terkatup mulai terbuka.
"Aku
ingin Kamu memenuhi satu permintaanku. Atau mungkin lebih tepatnya tantangan
kepada Kamu."
Keadaan
berbalik. Kini bibir Faiz yang tertutup rapat. Otaknya berpikir. Mencari-cari
sesuatu di masa lalu yang mungkin membuat Ani terluka, sehingga mungkin saja
Ani meminta kepadanya untuk mengakhiri hubungan mereka.
"Maksud
Kamu, Ani...?"
"Aku
mau kita berdua stop komunikasi dulu selama sehari. Mulai besok, aku mau di
antara kita tidak ada lagi SMS, tidak ada lagi telepon, dan kita juga tidak
boleh bertemu selama sehari penuh..!!"
Faiz
terperanjat. Bibirnya pucat, seakan tak pernah dialiri darah. Sedetik yang lalu
keresahannya hilang, karena ternyata permintaan dari Ani bukanlah untuk
mengakhiri hubungan mereka. Namun semenit kemudian keraguan dan ketakutan
kembali merasukinya. Okelah kalau hubungan mereka berakhir. setidaknya masih
bisa terjalin komunikasi di antara mereka. Tapi ini, Ani meminta agar mereka
yang memiliki hubungan yang kuat untuk tidak berkomunikasi. Meski hanya sehari,
tetap akan terasa sulit. Apalagi bagi Faiz yang teramat menyayangi Ani. Dan
tentu Ani tahu hal ini. Faiz menatap Ani tajam.
"Lalu,
apa konsekuensi dari ini semua?"
Dengan bibir
yang bergetar dia bersuara, menatap penuh harap kepada Ani.
"Kalau
Kamu berhasil untuk tidak berkomunikasi denganku selama sehari penuh besok,
maka Aku akan sangat menyayangi Kamu. Dan Aku berjanji akan mencintai Kamu
selamanya. Bagaimana...?"
Faiz diam
sejenak. Tak tahu apa yang harus dia katakan. Kembali hening di antara mereka.
Faiz menunduk, menatap dedaunan yang berserakan di pekarangan rumah Ani. Dia
berpikir keras, namun pikirannya melayang entah kemana. Sejenak dia bimbang,
ingin mengiyakan saja tantangan Ani. Namun hati kecilnya berkata lain, ingin
agar semua ini lenyap, bagai mimpi yang hilang kala dia terjaga di pagi hari.
Akhirnya dengan menguatkan hatinya, Faiz menjawab dengan kata 'Ya' atas
tantangan Ani. Tak berapa lama, Ani langsung masuk ke dalam kamarnya.
Faiz hanya
diam, tak tahu apakah harus mengejar Ani ataukah tetap menunggunya. Yang dia
sadari bahwa tantangan itu sudah mulai berlaku saat dia mengatakan 'Ya' tadi.
Akhirnya, dengan langkah gontai nan lesu dia langsung pergi menuju sepeda motor
yang dia parkir di luar pagar rumah Ani.
Kamar itu
gelap, sejak beberapa menit yang lalu dia menutupnya, mengunci diri dari dunia
luar. Wajahnya kusut, seakan kecantikannya menguap seiring dengan bulir-bulir
air mata yang mengaliri pipi halusnya. Pucat wajahnya menyiratkan penderitaan
yang amat dalam, dan dengan disaksikan ruangan kamarnya yang dia membisu, Ani
menumpahkan segala perasaannya, mencoba meraba kembali ingatan-ingatannya
tentang Faiz, yang mungkin tak akan dia temui lagi.
Esok harinya,
Faiz kembali melakukan kegiatan hariannya, sesuai rutinitas sehari-hari. Namun
kali ini seperti ada yang hilang. Ya, dia bahkan tidak mengetahui bagaimana
kabar Ani pagi ini. Dia tak lagi mendengar suara manja kekasihnya itu
membangunkannya pagi tadi, ketika dia terlelap dan hampir saja melewatkan waktu
shalat subuh. Dia tak lagi menerima SMS dengan nama A Great Woman di
Handphonenya. Ani yang hampir tiap menit mengirimkannya pesan singkat, baik itu
sekadar mengingatkannya jangan lupa makan, hingga mengingatkannya waktu shalat
telah tiba. Tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu yang menyesakkan dadanya. Ya,
dia tahu bahwa dia sudah sangat merindukan wanita itu. Namun dia tak bisa
begitu saja tidak mematuhi permintaan Ani kemarin. Bagaimanapun itu, dia harus
menyelesaikan tantangan yang diberikan oleh Ani. Toh yang harus dia lakukan
hanya perlu menunggu beberapa jam lagi, dan dia sudah bisa mendengar suara Ani
untuk menumpahkan kerinduannya selama seharian ini.
Detik berganti
menit. Menit berganti Jam. Dan Jam pun berganti hari. Pagi ini Faiz bangun
lebih awal, tak sabar untuk menghubungi Ani lagi. Dan dia ingin memberitahu Ani
betapa rindunya dia pada gadis idamannya itu. Segera saja dia meraih
handphonenya setelah menunaikan shalat Subuh.
"Bagaimana kabar Kamu? Aku rindu Kamu,
Ani..."
Semenit, dua
menit, sepuluh menit, bahkan setengah jam berlalu setelah pesan singkat itu
terkirim, tak ada tanda-tanda nama A Great Woman muncul di handphonenya. Faiz
merasa terlalu lama bagi Ani untuk membalas SMSnya. Waktu normal bagi Ani untuk
membalas SMSnya paling lama 2 menit. Tak sabar, dia langsung menelepon nomor
Ani.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak
aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi.."
Sia-sia,
ternyata Handphonenya tidak aktif. Faiz mulai merasakan sesuatu yang ganjil.
Tak pernah sejak dia menyatakan perasaannya kepada Ani muncul sesuatu yang
seperti ini. Dia mulai tak tenang. Akhirnya dia memutuskan untuk mendatangi
rumah Ani saat itu juga. Dengan terburu-buru, dia memacu sepeda motornya menuju
rumah Ani.
Tiba di depan
rumah Ani, masih gelap saat itu. Faiz melihat cukup banyak orang berkumpul di
depan rumah bercat krem itu. Langsung saja firasat buruk menyergapnya. Bibirnya
tiba-tiba pucat, darahnya terkesiap. Cukup kencang dia berlari hingga mampu
menerobos kerumunan orang-orang itu. Akhirnya dengan sedikit usaha, dia
berhasil masuk ke dalam rumah Ani.
Tak mampu dia
berkata apa-apa. Wajah cantik yang selalu menemani hari-harinya itu nyaris tak
dia kenali lagi. Tubuhnya yang terbujur kaku itu pucat, tampak dikelilingi oleh
keluarganya yang meratapi kepergiannya. Ya, Ani telah pergi. Ani yang telah
berjuang keras hingga akhirnya menyerah di tangan maut karena Kanker Kronis
yang dideritanya sejak lama, yang bahkan tidak pernah dia ceritakan kepada
Faiz. Ani yang selalu menguatkannya di saat Faiz terpuruk, bahkan dengan
kondisi tubuhnya yang telah lemah karena dimakan sel-sel kanker itu. Faiz
terkulai lemas, air mata membanjiri wajahnya. Raut tegas yang mencetak wajahnya
sirna, dihapuskan kedukaan yang mendalam.
"Ini,
surat dari Kak Ani untuk Kak Faiz. Ayah mendapatkannya di tangan Kak Ani subuh
tadi."
Dengan gerakan
perlahan, Faiz menjangkau surat yang dipegang oleh Shary, adik Ani. Dibukanya
perlahan surat itu,
"Dear Faiz, Kekasihku...
Sejak lama sebenarnya aku memendamnya
darimu. Sakitku ini, mungkin hanya menjadi jembatan pemisah kita berdua. Aku
harap Kamu tidak marah padaku dan masih tetap menganggap aku sebagai kekasihmu.
Aku tahu dan tak pernah meragukan perasaanmu kepadaku, betapa tulus dan
lembutnya hatimu. Aku sedih, tak bisa lebih lama mengenalmu dan mencurahkan
cinta kasihku kepadamu, andai kamu tahu betapa dalamnya kesedihanku ini. Ya,
aku menyayangimu, amat sangat menyayangimu. Dan aku ingin, sangat ingin
merangkai hari-hari indah bersamamu. Andai saja Tuhan mengijinkan.
Ingat, setelah hari ini, kamu harus
bisa bangun lebih awal untuk menunaikan shalat Subuh. Kamu juga tidak boleh
menunda makan dan shalat jika waktunya sudah tiba, seperti yang biasa Kamu
lakukan. Mungkin mulai hari ini kamu sudah harus bisa melakukannya sendiri, dan
aku yakin Kamu pasti bisa. Sebagaimana kamu yang selalu menjadi pria romantis
dan selalu ada di saat aku membutuhkan Kamu.
Kamu telah berhasil melalui tantangan
itu. Dan sebagai permintaan terakhirku, bisakah kamu melakukan hal itu setiap
hari? Karena sekeras apapun usahamu, Kamu tak akan mungkin bisa menghubungi aku
lagi.
Terima kasih atas segalanya, apa yang
telah kamu berikan kepadaku, adalah momen terindah yang pernah aku miliki. Maaf
aku tak bisa menemanimu hingga saat-saat terakhir, aku bahkan tidak akan bisa
mendampingimu di hari kelulusan nanti.
PS: I Love You..."
Masih
terngiang jelas suara indah Ani yang memanggil-manggil namanya, senyum manisnya
ketika menyambut kedatangan Faiz di rumahnya ini, rumah yang kini menjadi saksi
perpisahan jasad dan ruh Ani. Semburat jingga tampak di ufuk Timur, menampakkan
siluet indah pancaran sang fajar. Namun sayang tak mampu menerangi cahaya hidup
Faiz yang seakan telah hilang.