Monday, February 13, 2012

P.S: I LOVE YOU


Ani terdiam di kamarnya hingga hening. Detak jam dinding pun seakan tak berani bersuara. Dia bingung, haruskah melaksanakan hal itu atau tidak. Masih jelas terngiang dalam pikirannya sugesti dari sang dokter yang ditemuinya pagi tadi.
"Waktumu sampai lusa, tidak lebih..."
Begitulah, hingga kata-kata itu seakan bergema di gendang telinganya. Akhirnya setelah cukup lama bergumul dengan waktu, Ani meraih Handphone yang tergeletak tak bergerak di atas meja belajarnya.
"Aku mau ketemu sekarang, Kamu tolong datang ke rumah ya..."
 Segera dia kirim pesan singkat itu ke nomor Faiz, pria yang selama ini mengisi hari-harinya. Faiz, sosok pria yang selalu bisa membuatnya tersenyum sesedih dan segalau apapun hatinya. Dan sekarang dia ingin meminta sesuatu yang mungkin tidak biasa pada pria itu.
"Aku tahu kamu pasti datang..."
 Suaranya berat, seakan dipaksakan saat memulai pembicaraan tatkala Faiz baru memarkir motornya di depan pagar rumah. Faiz diam sejenak, mengatur nafas setelah duduk di atas kursi.
"Terus terang aku bingung. Kamu minta aku datang, setelah aku sampai di depan rumah mu, Kamu meragukan kedatanganku."
 "Aku tak punya waktu untuk berdebat dengan Kamu, Faiz. Aku cuma mau kamu penuhi 1 permintaan dariku."
            Belum hilang rasa herannya akan pernyataan Ani kepadanya ketika baru sampai di rumah Ani, ada lagi pernyataan lain yang menambah keheranannya.
"Maksud Kamu apa, Ani...?"
 Ani bungkam. Dia menutup bibirnya rapat-rapat. Ani tahu betul bagaimana perasaan Faiz kepadanya. Mereka sudah menjalin hubungan cukup lama, sejak mereka kelas 2 SMA hingga mereka semester IV di bangku kuliah kini. Dan sejauh yang bisa dia ingat, tak pernah sekalipun Faiz mengatakan tidak untuk setiap permintaannya. Akhirnya dengan mengumpulkan seluruh keberanian yang dia punya, mulutnya yang rapat terkatup mulai terbuka.
"Aku ingin Kamu memenuhi satu permintaanku. Atau mungkin lebih tepatnya tantangan kepada Kamu."
 Keadaan berbalik. Kini bibir Faiz yang tertutup rapat. Otaknya berpikir. Mencari-cari sesuatu di masa lalu yang mungkin membuat Ani terluka, sehingga mungkin saja Ani meminta kepadanya untuk mengakhiri hubungan mereka.
"Maksud Kamu, Ani...?"
 "Aku mau kita berdua stop komunikasi dulu selama sehari. Mulai besok, aku mau di antara kita tidak ada lagi SMS, tidak ada lagi telepon, dan kita juga tidak boleh bertemu selama sehari penuh..!!"
 Faiz terperanjat. Bibirnya pucat, seakan tak pernah dialiri darah. Sedetik yang lalu keresahannya hilang, karena ternyata permintaan dari Ani bukanlah untuk mengakhiri hubungan mereka. Namun semenit kemudian keraguan dan ketakutan kembali merasukinya. Okelah kalau hubungan mereka berakhir. setidaknya masih bisa terjalin komunikasi di antara mereka. Tapi ini, Ani meminta agar mereka yang memiliki hubungan yang kuat untuk tidak berkomunikasi. Meski hanya sehari, tetap akan terasa sulit. Apalagi bagi Faiz yang teramat menyayangi Ani. Dan tentu Ani tahu hal ini. Faiz menatap Ani tajam.
"Lalu, apa konsekuensi dari ini semua?"
Dengan bibir yang bergetar dia bersuara, menatap penuh harap kepada Ani.
"Kalau Kamu berhasil untuk tidak berkomunikasi denganku selama sehari penuh besok, maka Aku akan sangat menyayangi Kamu. Dan Aku berjanji akan mencintai Kamu selamanya. Bagaimana...?"
Faiz diam sejenak. Tak tahu apa yang harus dia katakan. Kembali hening di antara mereka. Faiz menunduk, menatap dedaunan yang berserakan di pekarangan rumah Ani. Dia berpikir keras, namun pikirannya melayang entah kemana. Sejenak dia bimbang, ingin mengiyakan saja tantangan Ani. Namun hati kecilnya berkata lain, ingin agar semua ini lenyap, bagai mimpi yang hilang kala dia terjaga di pagi hari. Akhirnya dengan menguatkan hatinya, Faiz menjawab dengan kata 'Ya' atas tantangan Ani. Tak berapa lama, Ani langsung masuk ke dalam kamarnya.
Faiz hanya diam, tak tahu apakah harus mengejar Ani ataukah tetap menunggunya. Yang dia sadari bahwa tantangan itu sudah mulai berlaku saat dia mengatakan 'Ya' tadi. Akhirnya, dengan langkah gontai nan lesu dia langsung pergi menuju sepeda motor yang dia parkir di luar pagar rumah Ani.
Kamar itu gelap, sejak beberapa menit yang lalu dia menutupnya, mengunci diri dari dunia luar. Wajahnya kusut, seakan kecantikannya menguap seiring dengan bulir-bulir air mata yang mengaliri pipi halusnya. Pucat wajahnya menyiratkan penderitaan yang amat dalam, dan dengan disaksikan ruangan kamarnya yang dia membisu, Ani menumpahkan segala perasaannya, mencoba meraba kembali ingatan-ingatannya tentang Faiz, yang mungkin tak akan dia temui lagi.
Esok harinya, Faiz kembali melakukan kegiatan hariannya, sesuai rutinitas sehari-hari. Namun kali ini seperti ada yang hilang. Ya, dia bahkan tidak mengetahui bagaimana kabar Ani pagi ini. Dia tak lagi mendengar suara manja kekasihnya itu membangunkannya pagi tadi, ketika dia terlelap dan hampir saja melewatkan waktu shalat subuh. Dia tak lagi menerima SMS dengan nama A Great Woman di Handphonenya. Ani yang hampir tiap menit mengirimkannya pesan singkat, baik itu sekadar mengingatkannya jangan lupa makan, hingga mengingatkannya waktu shalat telah tiba. Tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu yang menyesakkan dadanya. Ya, dia tahu bahwa dia sudah sangat merindukan wanita itu. Namun dia tak bisa begitu saja tidak mematuhi permintaan Ani kemarin. Bagaimanapun itu, dia harus menyelesaikan tantangan yang diberikan oleh Ani. Toh yang harus dia lakukan hanya perlu menunggu beberapa jam lagi, dan dia sudah bisa mendengar suara Ani untuk menumpahkan kerinduannya selama seharian ini.
Detik berganti menit. Menit berganti Jam. Dan Jam pun berganti hari. Pagi ini Faiz bangun lebih awal, tak sabar untuk menghubungi Ani lagi. Dan dia ingin memberitahu Ani betapa rindunya dia pada gadis idamannya itu. Segera saja dia meraih handphonenya setelah menunaikan shalat Subuh.
"Bagaimana kabar Kamu? Aku rindu Kamu, Ani..."
Semenit, dua menit, sepuluh menit, bahkan setengah jam berlalu setelah pesan singkat itu terkirim, tak ada tanda-tanda nama A Great Woman muncul di handphonenya. Faiz merasa terlalu lama bagi Ani untuk membalas SMSnya. Waktu normal bagi Ani untuk membalas SMSnya paling lama 2 menit. Tak sabar, dia langsung menelepon nomor Ani.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi.."
Sia-sia, ternyata Handphonenya tidak aktif. Faiz mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Tak pernah sejak dia menyatakan perasaannya kepada Ani muncul sesuatu yang seperti ini. Dia mulai tak tenang. Akhirnya dia memutuskan untuk mendatangi rumah Ani saat itu juga. Dengan terburu-buru, dia memacu sepeda motornya menuju rumah Ani.
Tiba di depan rumah Ani, masih gelap saat itu. Faiz melihat cukup banyak orang berkumpul di depan rumah bercat krem itu. Langsung saja firasat buruk menyergapnya. Bibirnya tiba-tiba pucat, darahnya terkesiap. Cukup kencang dia berlari hingga mampu menerobos kerumunan orang-orang itu. Akhirnya dengan sedikit usaha, dia berhasil masuk ke dalam rumah Ani.
Tak mampu dia berkata apa-apa. Wajah cantik yang selalu menemani hari-harinya itu nyaris tak dia kenali lagi. Tubuhnya yang terbujur kaku itu pucat, tampak dikelilingi oleh keluarganya yang meratapi kepergiannya. Ya, Ani telah pergi. Ani yang telah berjuang keras hingga akhirnya menyerah di tangan maut karena Kanker Kronis yang dideritanya sejak lama, yang bahkan tidak pernah dia ceritakan kepada Faiz. Ani yang selalu menguatkannya di saat Faiz terpuruk, bahkan dengan kondisi tubuhnya yang telah lemah karena dimakan sel-sel kanker itu. Faiz terkulai lemas, air mata membanjiri wajahnya. Raut tegas yang mencetak wajahnya sirna, dihapuskan kedukaan yang mendalam.
"Ini, surat dari Kak Ani untuk Kak Faiz. Ayah mendapatkannya di tangan Kak Ani subuh tadi."
Dengan gerakan perlahan, Faiz menjangkau surat yang dipegang oleh Shary, adik Ani. Dibukanya perlahan surat itu,

"Dear Faiz, Kekasihku...
Sejak lama sebenarnya aku memendamnya darimu. Sakitku ini, mungkin hanya menjadi jembatan pemisah kita berdua. Aku harap Kamu tidak marah padaku dan masih tetap menganggap aku sebagai kekasihmu. Aku tahu dan tak pernah meragukan perasaanmu kepadaku, betapa tulus dan lembutnya hatimu. Aku sedih, tak bisa lebih lama mengenalmu dan mencurahkan cinta kasihku kepadamu, andai kamu tahu betapa dalamnya kesedihanku ini. Ya, aku menyayangimu, amat sangat menyayangimu. Dan aku ingin, sangat ingin merangkai hari-hari indah bersamamu. Andai saja Tuhan mengijinkan.

Ingat, setelah hari ini, kamu harus bisa bangun lebih awal untuk menunaikan shalat Subuh. Kamu juga tidak boleh menunda makan dan shalat jika waktunya sudah tiba, seperti yang biasa Kamu lakukan. Mungkin mulai hari ini kamu sudah harus bisa melakukannya sendiri, dan aku yakin Kamu pasti bisa. Sebagaimana kamu yang selalu menjadi pria romantis dan selalu ada di saat aku membutuhkan Kamu.

Kamu telah berhasil melalui tantangan itu. Dan sebagai permintaan terakhirku, bisakah kamu melakukan hal itu setiap hari? Karena sekeras apapun usahamu, Kamu tak akan mungkin bisa menghubungi aku lagi.

Terima kasih atas segalanya, apa yang telah kamu berikan kepadaku, adalah momen terindah yang pernah aku miliki. Maaf aku tak bisa menemanimu hingga saat-saat terakhir, aku bahkan tidak akan bisa mendampingimu di hari kelulusan nanti.

PS: I Love You..."

Masih terngiang jelas suara indah Ani yang memanggil-manggil namanya, senyum manisnya ketika menyambut kedatangan Faiz di rumahnya ini, rumah yang kini menjadi saksi perpisahan jasad dan ruh Ani. Semburat jingga tampak di ufuk Timur, menampakkan siluet indah pancaran sang fajar. Namun sayang tak mampu menerangi cahaya hidup Faiz yang seakan telah hilang.

Divorced Letter Part II: Wife


Dear Ex-Husband -

Nothing has made my day more than receiving your letter. It's true that you and I have been married for seven years, although a good man is a far cry from what you've been.

I watch my soaps so much because they drown out your constant whining and griping. Too bad that doesn't work.

I DID notice when you got a hair cut last week, but the first thing that came to mind was 'You look just like a girl!' Since my mother raised me not to say anything if you can't say something nice, I didn't comment.

And when you cooked my favorite meal, you must have gotten me confused with MY SISTER, because I stopped eating pork seven years ago.

About those new silk boxers: I turned away from you because the $49.99 price tag was still on them, and I prayed that it was a coincidence that my sister had just borrowed fifty dollars from me that morning.

After all of this, I still loved you and felt that we could work it out.

So when I hit the lotto for ten million dollars, I quit my job and bought us two tickets to Jamaica . But when I got home you were gone.

Everything happens for a reason, I guess.

I hope you have the fulfilling life you always wanted. My lawyer said that the letter you wrote ensures you won't get a dime from me. So take care.


Signed,

Your Ex-Wife, Rich As Hell and Free!


P.S. I don't know if I ever told you this, but my sister Carla was born Carlo.
I hope that's not a problem.

Divorced Letter Part I: Husband

Dear Wife:

I'm writing you this letter to tell you that I'm leaving you forever.

I've been a good man to you for seven years and I have nothing to show for it.

These last two weeks have been hell. Your boss called to tell me that you quit your job today and that was the last straw.

Last week, you came home and didn't even notice that I had a new haircut, had cooked your favorite meal and even wore a brand new pair of silk boxers.

You ate in two minutes, and went straight to sleep after watching all of your soaps. You don't tell me you love me anymore; you don't want sex or anything that connects us as husband and wife.

Either you're cheating on me or you don't love me anymore; whatever the
case, I'm gone.

Your EX-Husband


P.S. Don't try to find me. Your SISTER and I are moving away to West
Virginia together! Have a great life!